Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami
berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat
berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar
dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang
baik apa yang telah mereka kerjakan. [Al-An’âm: 122].
Perhatikan ayat agung ini, dijelaskan bahwa manusia yang berjalan di atas muka bumi ini terbagi dua golongan, Pertama, orang yang dianggap mati. Memang kita melihatnya berjalan dan
beraktifitas, namun hakikatnya mereka adalah mayat karena berada dalam
kegelapan kekafiran, kejahilan, atau kemaksiatan. Kehidupannya diitari
oleh gundah gulana, ketidak tenangan, kesedihan, dan kesengsaraan.
Kedua, orang yang hidup dalam naungan ilmu, keimanan dan ketaatan.
Inilah kehidupan yang hakiki, kehidupan seorang yang berjalan dengan
cahaya di tengah manusia, mengenal berbagai kebaikan dan mengamalkan
dalam kehidupannya serta menyerukannya kepada manusia.
Dalam
sejumlah ayat, Allah telah menyebut ilmu agama,
Al-Qur`an dan
syari’at
sebagai cahaya, petunjuk, kehidupan, kebahagiaan, kabar gembira, ruh,
dan berbagai sifat kehidupan sejati.
Renungilah perbedaan antara
orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati, sebagaimana Allah
telah membedakan antara siang dan malam, cahaya dan kegelapan, keimanan
dan kekafiran, serta ketaatan dan kemaksiatan.
Silahkan setiap
dari kita menilai dan mencermati, dimana diri-diri kita dari dua
golongan di atas. Ingat, jangan sampai kita tergolong mayat berjalan.